Perang Israel vs Hamas: 5 Dampak Buruknya Pada Perekonomian
mypulau.com – Perang Israel versi Hamas semakin tidak teratasi. Perang dicemaskan akan semakin makin tambah meluas dan berjalan lama sehingga bawa imbas lebih berat pada ekonomi global.
Dalam perubahan terkini, Israel sudah mengepung 2,tiga juta warga Lajur Gaza dan membombardir wilayah kantong itu dalam gempuran yang sudah tewaskan beberapa ribu orang dan mengakibatkan lebih satu juta orang kehilangan rumah.
Perselisihan semakin semakin menghangat, saat Amerika Serikat (AS) memihak pada tim Israel. Presiden AS Joe Biden datang di Israel pada Rabu (18/10/2023), janjikan kebersamaan dengan Israel dalam perang menantang Hamas, dan memberikan dukungan pengakuan Israel jika militanlah yang mengakibatkan ledakan di dalam rumah sakit.
Palestina mempersalahkan gempuran udara Israel, tetapi Israel menjelaskan hal tersebut disebabkan karena ketidakberhasilan penyeluncuran roket oleh militan Palestina. Biden memberikan dukungan pengakuan Israel.
Selanjutnya, Biden akan jual miliaran dolar ke AS untuk Israel dan Ukraina dalam pidatonya tempo hari. Biden akan coba memberikan keyakinan masyarakat AS berkenaan pentingnya keluarkan miliaran dolar semakin banyak untuk Israel dan Ukraina di hari Kamis, bahkan juga saat Dewan Perwakilan Masyarakat AS, tanpa seorang pimpinan, tidak bisa menyepakati pengeluaran baru untuk ke-2 perang itu.
Gedung Putih menjelaskan Biden akan umumkan keinginan permodalan baru pada minggu ini yang diyakinkan sejumlah US$100 miliar atau sama dengan Rp1,6 kuadriliun (Rp15.810/US$1). Jumlah itu kemungkinan meliputi US$60 miliar untuk Ukraina dan US$10 miliar untuk Israel, menurut sejumlah sumber, dan miliaran dolar untuk keamanan tepian Asia dan AS.
Baca Juga : Siapa Hamas Dan Bagaimana Sepak Terjangnya Saat Menantang Israel ?
Dari segi Iran, negara itu mengatakan embargo minyak (larangan export) pada Israel berkenaan dengan perselisihan di Gaza. Perselisihan di antara Israel dan Hamas yang berkesinambungan mempunyai potensi mengusik ekonomi dunia, bahkan juga mengakibatkan krisis bila semakin banyak negara yang turut terturut.
Ada banyak scenario yang hendak terjadi bila perang itu terus semakin makin tambah meluas.
1. Harga Minyak
Harga minyak mentah bisa naik tajam bila kemelut di Timur tengah semakin meningkat, ingat Timur tengah ialah penyuplai sepertiga suplai minyak global.
Kekuatan Iran agar semakin terturut dan tanggapan AS yang tingkatkan ancaman pada minyak Iran jadi perhatian. Iran merencanakan lakukan embargo minyak (larangan export) pada Israel. Penganiayaan keras pada export minyak Iran bisa selekasnya hilangkan 1-2 juta barel setiap hari (juta barel setiap hari) dari pasar dalam waktu cepat.
Dari Oktober 1973 sampai Maret 1974, saat perang Yom Kippur memacu embargo minyak pada simpatisan Israel oleh beberapa negara Arab, harga minyak naik lebih dari 300%.
2. Inflasi Naik
Saat harga minyak mentah naik, teror inflasi yang lebih tinggi menghantui lagi ekonomi global. Amerika Serikat, India, China, dan beberapa negara besar yang lain adalah importir minyak yang lebih besar dan bisa alami inflasi import yang lebih tinggi bila harga minyak masih tetap tinggi. https://www.mypulau.com/
Saat harga minyak naik, biaya produksi beragam industri dan biaya energi untuk dunia usaha dan rumah tangga bertambah hingga menggerakkan inflasi semakin tinggi.
Kenaikan harga minyak, yang sebelumnya sempat capai US$139 per barel sesudah agresi Rusia ke Ukraina di tahun lantas, bisa hentikan pengurangan inflasi. Harapan pasar dalam periode panjang pada harapan inflasi AS dan teritori euro memperlihatkan inflasi masih tetap ada di atas sasaran 2%.
3. Dollar Semakin Gagah
Keinginan pada safe-haven sudah menggerakkan pengokohan dolar. Index dolar sudah capai tingkat 106 dengan peningkatan 7% dari pengurangan paling rendahnya selama setahun 2023 pada tengah Juli di tingkat 99.
Peningkatan dolar ini membuat mata banyak uang negara tersuruk, termasuk rupiah. Bank sentra beberapa negara bahkan juga mau tak mau menaikkan suku bunga untuk jaga kestabilan nilai ganti. Cara ini diambil oleh Turki dan Indonesia.
4. Pasar Keuangan Terbenam
Mata uang dan saham global langsung roboh demikian perang Israel versus Hamas meledak pada 7 Oktober kemarin. Perang tingkatkan ketidakjelasan global hingga investor condong mengambil dana dari asset beresiko tinggi.
Mata uang, obligasi dan saham Israel sudah terserang imbas dari kritis ini, seperti yang terjadi di Mesir, Yordania dan Irak, dan Arab Saudi, Qatar dan Bahrain.
Mata uang Israel adalah salah satunya yang paling tersuruk tahun ini dengan pelemahan tembus 11,6%.
Beberapa negara berkembang meremehkan kemelut untuk sekarang ini. Morgan Stanley pun tidak memprediksi ada penyebaran kritis.
Tetapi Jeff Grills dari Aegon Asset Manajemen mengingatkan eskalasi regional bisa secara gampang mengakibatkan harga minyak naik 20%, hingga bikin rugi beberapa puluh negara pengimpor minyak yang telah miskin.
5. Jitter Teknologi
Apa yang bagus untuk stock minyak dapat berpengaruh jelek untuk perusahaan teknologi besar.
Index MSCI untuk saham teknologi global bergerak kebalikannya dengan saham minyak dan gas di tahun 2022 karena perang di Ukraina menggerakkan naiknya harga minyak, hingga memacu kekuatiran inflasi yang disebabkan karena imbal hasil obligasi lebih tinggi.
Kekuatan masalah pada infrastruktur sebuah dampak negatif.
“Mesir adalah lokasi di mana banyak kabel antarbenua melewati dataran di Terusan Suez digital,” menurut Deutsche Bank. “Minimal 17% lalu lintas internet global melewati jalur ini.”